Aku ingin pergi ke tempat yang jauh, entah dimana itu. Aku belum memutuskan di kota mana aku harus berlabuh. Di kotaku aku sudah cukup dengan sekali jatuh cinta dan sekali terluka, meski barangkali bekasnya akan bertahan lama, setidaknya aku bisa melupakan dengan perlahan. Ah.. tapi tak mungkin, kenangan tak akan pernah mati, ia akan melekat dalam hidup kita, entah sebagai pelajaran atau menjadi sesuatu yang membuat kita semakin terpuruk, dan aku telah menanggung semuanya.
Sore itu aku mulai mengemasi barang-baranngku, keperluan yang akan aku bawa pergi. Aku mulai berpamitan pergi pada keluarga, sahabat-sahabat terdekatku, termasuk pada diriku sendiri. Tujuanku adalah surabaya, kota pahlawan. Setidaknya aku bisa belajar melawan getirnya hidup, melawan kenangan yang membuat trauma sepanjang jalan.
Aku adalah cinta yang ditinggalkan, lalu meninggalkan setelah semua tanggal, seseorang yang telat meninggalkan setelah tertinggal. Bagaimana aku bisa melupakanmu, dan kenangan tentang kita, jika aku adalah kenangan itu sendiri. Iya, aku adalah kenangan yang rumusan bahagianya tertinggal dimasa lampau.
Ternyata melupakanmu tak semudah melupakan tanggal, aku kerap lupa sekarang tanggal berapa semenjak membaca surat undangan pernikahanmu. Yang aku ingat dalam benakku saat kau berkata “kapan? Halalkan atau tinggalkan” sebuah kata yang kau ucapkan berulang-ulang. Aku tak bisa berbuat apa-apa, apalagi soal menghitung waktu, sampai mempersiapkan tanggalpun aku tak mampu, saat itu kau mulai meninggalkan, dan aku tertinggal.
Tapi tak apa, sungguh tak apa. Cinta terkadang memang harus realistis, dan memilih yang pasti, yang menjadi tolak ukur kepantasan. Perlahan dari waktu ke waktu aku bukan lagi belajar melupakan, tapi belajar mana yang harus di ingat dan mana yang harus dilupakan.
Suatu waktu temanku bertanya “sekarang tanggal berapa?”. “Aku lupa tanggal berapa” jawabku. yang aku ingat hanya tanggal satu, itupun tepat pada tanggal gajian. Selebihnya aku lupa, dan tak ingin mengingatnya, apalagi di tanggal tua. 😅